Suatu ketika saya mengajak Hannah Palestine Aldina untuk pergi ke tukang jahit. Niatnya sih sambil membeli ubi bakar Cilembu. Terlepas itu pesanan Ummanya atau tidak. Tetapi feelingnya kuat banget. Dan benar saja di tengah perjalanan, muncul notifikasi.
Umma Hannah : “Kayaknya pengen ubi ungu. Eh ubi Cilembu”
Udah tahu kan maksudnya? Dalam bahasa lainnya itu bisa dikonversi,
“Tolong belikan Ubi Cilembu.”
Katanya dulu pernah jualan ubi ungu di kampusnya jadi keingetan pas mau beli ubi cilembu kadang nyebutnya ubi ungu terus.
Sesampainya di tukang jahit, saya coba ngobrol-ngobrol sebentar dengan Pak Udin. Tukang jahit langganan saya.
“Sing enggal damang nya, Pak.” Udah dua hari beliau sakit meriang. Wajar mungkin Bandung akhir-akhir lagi dingin banget.
“Sakinten ayeuna mah.” Ujarnya menandakan sakitnya mulai membaik.
Setelah lama ngobrol setengah jam sambil disuguhi dua gelas air minum ternyata saya baru nyadar. Salah satu ketakutan terbesar ketika membawa anak jalan-jalan itu adalah ketika doi pengen pipis. Bingung kan, mungkin bapak-bapak sering ngalaminnya dan pernah merasakan dag dig dugnya.
“Hannah pengen pipis, ya?” tanya saya yang sudah ke-5 kalinya mungkin.
Meskipun dia udah bosan ditanya dan jawabannya pasti sama, yaitu ENGGAK. Tapi saya terus memastikan jawabannya memang benar-benar “enggak” jangan sampai kecolongan aja. You know what I mean. Ngompol. Hehe
Singkat cerita saya selesai di tukang jahit lalu bergegas menuju penjual Ubi Cilembu langganan. Sebenarnya tidak sengaja langganan karena jaraknya aja lebih dekat dan penjualnya ramah. Sepasang suami istri muda yang sedang merintis usahanya yang dimulai dengan menjual Ubi Cilembu, Peuyeum, Puding Ubi, dan aneka makanan ringan lainnya. Keramahan penjual menjadi salah satu daya tarik jika ingin mendapatkan pelanggan setia.
“Meser sakilo ya, Teh.”
“Mangga.” Sambil menyodorkan pencapit supaya saya memilih sendiri ubinya yang masih panas.
Tiba-tiba datang dari arah samping pemuda kisaran 30an tahun sambil bertanya,
“Kalau beli banyak bisa dapat diskon gak?” Bukan penjualnya yang kaget. Saya yang lagi milih ubi aja hampir salah capit. Jarang-jarang orang yang menawar harga ke akang teteh penjual ubi itu.
“Gak bisa A.”
“Beli 4 kg, tetep gak bisa ya?” Masih mencoba menawar. Liat maskernya serasa pengen capit maskernya.
“Gak bisa, A. Ini aja nge-ovennya aja 1 jam biar masak. Harganya aja beda sama yang mentah” Aa penjual ubi mencoba menjelaskan dengan santun bahwa diskon tidak bisa di dapat karena ongkos operasionalnya besar untuk menyalakan oven besar. Tidak sebanding dengan ubi yang hanya dijual mentah. Intinya menolak tawaran dengan santun.
Hannah Palestine Aldina yang lagi bengong lihat Abanya milih ubinya lama. Mungkin dia mikir, Oven? Diskon? 4 kilo? Dunia orang dewasa benar-benar rumit. Beli mah beli tinggal makan. Enak. Selesai kan.
“Ini, mau?” Hannah yang lagi ngelamun tersadarkan Aa penjualnya memberinya pudding ubi. Entah sebagai bonus atau apa. Tapi Allah gerakkan hati Aa penjual ubi untuk memberikan pudding ubi secara gratis. Padahal belinya mah cuma sekilo. Hehe
Hannah Palestine Aldina mundur dan enggan menerima pudding tersebut. Padahal itu pudding tinggal mamam aja. Melihat reaksinya seperti itu saya pun faham dia itu malu tapi mau. Saya pun mengatakan kepada Hannah,
“Mbak, malu ya tadi?”
“Iya, Hannah malu.”
“Iya bagus harus malu ya. Kalau ada orang yang ngasih makanan, minuman, atau barang ke Hannah harus tahu Aba dulu ya. Jangan langsung diambil ya sebelum Aba izinin.”
Hannah Palestine Aldina yang sedang duduk di depan motor terlihat mengangguk mengiyakan perkataan saya. Semoga selalu nyerap ya, Nak.
Memori tawar menawar kepada penjual ubi itu membuat saya untuk menulis postingan ini. Bagi saya, menawar itu tidak boleh jika tidak berdasar. Apalagi menawar ke pedagang kecil. Bahkan kalau bisa kita harus melebihkan. Gak usah dibalikin kembalian misalkan. Atau hal-hal kecil lainnya yang membuatnya orang lain senang, terutama UMKM.
Hidup UMKM!
Ferry Aldina,
Calon Bupati Singaparna